Ekonomi mikro islam dan ruang lingkupnya
A. Definisi ekonomi mikro islam
1.
ekonomi islam
menurut Muhammad Baqir as-sadr, bahwa ekonomi islam
adalah sebuah ajaran atau doctrine dan bukannya ilmu murni (science), karena
apa yang terkandung dalam ekonomi islam bertujuan memberikan sebuah solusi hidup
yang paling baik, sedangkan ilmu ekonomi hanya akan mengantarkan kita kepada
pemahaman bagaimana kegiatan ekonomi berjalan.[1]
Ekonomi islam adalah
suatu prilaku individu muslim dalam setiap aktivitas ekonomi syariahnya harus
sesuai dengan tuntunan syariat islam dalam rangka mewujudkan dan menjaga maqashid syariah ( agama, jiwa, akal, nasab
dan harta).[2]
Ilmu ekonomi islami adalah sebuah
system ekonomi yang menjelaskan segala fenomena tentang prilaku pilihan dan pengambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan
memasukkan tata peraturan syariah
sebagai independen ( ikut memengaruhi segala pengambilan keputusan ekonomi)
2.
ekonomi mikro
teori
Mikro ekonomi didefinisikan sebagai teori ekonomi yang menelaah hubungan (prilaku)
variable ekonomi individual, atau prilaku ekonomi dalam ruang lingkup kecil,
seperti: permintaan suatu barang, produksi suatu barang, konsumsi suatu barang,
harga suatu barang dan lain sebagainya.
Ekonomi mikro mempelajari
prilaku-prilaku dari tiap tiap individu dalam setiap unit ekonomi, yang dapat
berperan sebagai konsumen, pekerja,
investor, pemilik tanah atau resources yang lain, ataupun prilaku dari sebuah
industry.
Ekonomi mikro menjelaskan
bagaimana seorang konsumen membuat
keputusan dan pemilihan terhadap suatu produk ketika ada perubahan pada harga
atau pendapatan. Ekonomi mikro juga dapat menjelaskan prilaku industry dalam
menentukan jumlah tenaga kerja, kuantitas dan harga yag terbaik.
Dari kedua penjelasan diatas,
maka ekonomi mikro islam ialah ilmu ekonomi
yang mempelajari prilaku-prilaku dari tiap individu dalam setiap unit
ekonomi yang membuat keputusan dengan berlandaskan pada syariat atau hukum
islam.
B. Perbedaan ekonomi mikro islam dengan ekonomi mikro
kovensional.
Asumsi
yang digunakan oleh ekonomi konvensional ialah bahwasannya sumber daya alam
yang terbatas dan keinginan manusia yang tidak terbatas. Namun menurut
pandangan ekonomi islam berbeda dengan dengan ekonomi konvensional.
Baqir
As-Sadr berpendapat bahwa hakikatnya sumber daya melimpah dan tidak terbatas. Dan ia juga menolak mengenai pernyataan bahwa
keinginan manusia itu tidak terbatas.
Ekonomi
mikro islam lebih mengedepankan tuntunan syariat islam dalam pengambilan sebuah
keputusan.
C. Prinsip umum ekonomi mikro islam
Walaupun
pemikiran para pakar tentang ekonomi islam terbagi – bagi kedalam tiga mazhab
yaitu mazhab baqir as-sadr, mazhab mainstream dan mazhab alternative-kritis.
Namun pada dasarnya mereka setuju dengan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya.
Prinsip-prinsip ini membentuk keseluruhan kerangka ekonomi islami.
Ekonomi
islami didasarkan atas lima nilai universal, yakni:
1.
Tauhid (keimanan)
2.
‘adl ( keadilan)
3.
Nubuwwah ( kenabian)
4.
Khilafah (pemerintahan)
5.
dan Ma’ad (hasil)
kelima
nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun proporsi-proporsi dan
teori-teori ekonomi islami. Oleh karena itu, dari kelima nilai-nilai universal
tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri- ciri dan cikal
bakal system ekonomi islam. Ketiga prinsip derivative itu ialah multitype ownership, freedom to act,
dan social justice.[3]
a.
Multitype ownership (kepemilikan multi jenis)
Dalam
islam kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan multi jenis. Yakni mengakui
bermacam macam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, Negara atau campuran.
Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid dimana pemilik langit, bumi
atau seisinya hanya Allah. Sedangkan
manusia hanya diberi amanah untuk mengelolanya.
b.
Freedom to act (kebebasan bertindak/ berusaha)
Pelaku
– pelaku ekonomi dan bisnis
menjadikan nabi sebagai teladan dan
model dalam melakukan aktivitasnya. Sifat nabi yang dijadikan model tersebut
terangkut kedalam empat sifat utama yakni siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh
. freedom to act bagi setiap individu akan menciptakan mekanisme pasar dalam
perekonomian. Dan tentunya pemerintah menjadi pengawas interaksi pelaku –
pelaku ekonomi dan bisnis dalam wilayah kekuasannya untuk menjamin tidak
dilanggarnya syariah, supaya tidak ada pihak yang zalim dan terzalimi. Sehingga
terciptalah ekonomi dan bisnis yang sehat.
c.
Social justice ( keadilan social)
Gabungan
dari ma’ad dan khilafah melahirkan prinsip keadilan social. Dalam islam,
pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan
menciptakan keseimbangan social antara yang kaya dan miskin.
Semua
system ekonomi mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan system perekonomian
yang adil. Namun tidak semuanya system tersebut
mampu dan secara konsisten menciptakan system yang adil. System yang
baik adalah system yang dengan tegas dan secara konsisten menjalankan prinsip-
prinsip keadilan. Dalam system sosialis, keadilan akan terwujud apabila
masyarakatnya dapat menikmati barang dan jasa dengan sama rata dan sama rasa.
Sedangkan dalam system kapitalis, adil apabila setiap individu mendapatkan apa
yang menjadi haknya. Namun pada kenyataannya system kapitalis justru mendorong
terbentuknya industry korporasi.
Dalam
islam, keadilan diartikan dengan suka sama suka dan satu pihak tidak menzalimi
pihak lainnya.
D. Alasan mempelajari ekonomi mikro islam
Salah
satu alasan kita mempelajari ekonomi mikro islam, kita akan mendapatkan
keyakinan yang kuat tentang teori ekonomi mikro islam yang relevan dan dapat
diterapkan dalam dunia nyata. Selain itu, tujuan lainnya ialah bagaimana
menerapkan prinsip-prinsip ekonomi mikro islam dalam pengambilan keputusan agar
mendapatkan solusi terbaik, yaitu solusi yang akan menguntungkan kita dan tidak
menzalimi orang.
E. Manfaat mempelajari ekonomi mikro islam
Ilmu
ekonomi juga memfokuskan pada
explanation dan prediction dari fenomena yang ada. Dalam pembahasan
ekonomi mikro islami, segala pembahasan
yang ditujukan untuk melakukan explanation dan prediction didasarkan pada
teori. Teori dibangun untuk menerangkan
dari fenomena yang terjadi dalam suatu waktu
dengan menggunakan hukum hukum dasar dan beberapa asumsi yang
terpenuhi. Dalam pembentukan teori mikro
eknomi islami, hukum hukum dasar ekonomi murni tetap digunakan sepanjang hukum
dasar tersebut tidak bertentangan dengan hukum syariah. Misalkan, teori yang
digunakan dalam menjelaskan prilaku industry, dimulai dari sebuah asumsi yang cukup sederhana. Yaitu sebuah
industry dalam melaksanakan operasinya bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan
dengan cara dan seumber-sumber yang halal. Dengan asumsi tersebut, teori dapat
menerangkan bagaimana industry tersebut
memilih dan menentukan komposisi tenaga kerja, modal, barang-barang pendukung
proses produksi, dan penentuan jumlah output.
Teori
ekonomi juga dapat berfungsi untuk memprediksi dampak dari adanya perubahan
satu variable terhadap variable lainnya. Sebagai contoh, bagaimana teori, mikro
ekonomi ini dapat menerangkan kepada kita tentang peningkatan dan penurunan
output sebagai dampak dari adanya kenaikan
dan penurunan pada variable ekonomi lain, seperti upah, inflasi dan jumlah
permintaan.
F.
Karakteristik Ekonomi Mikro Islam[4]
1.
Ekonomi Islam pengaturannya bersifat ketuhanan/ilahiah
(nizhamun rabbaniyyun), mengingat dasar-dasar pengaturannya yang tidak diletakkan
oleh manusia, akan tetapi didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan Allah
s.w.t. sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, berbeda dengan
hukum ekonomi lainnya yakni kapitalis (ra’simaliyah; capitalistic) dan sosialis
(syuyu`iyah; socialistic) yang tata aturannya semata-mata didasarkan atas
konsep-konsep/teori-teori yang dihadirkan oleh manusia (para ekonom).
2.
Dalam
Islam, ekonomi hanya merupakan satu titik bahagian dari al-Islam secara
keseluruhan (juz’un min al-Islam as-syamil). Oleh karena ekonomi itu hanya
merupakan salah satu bagian atau tepatnya sub sistem dari al-Islam yang
bersifat komprehensip (al-Islam as-syamil), maka ini artinya tidaklah mungkin
memisahkan persoalan ekonomi dari rangkaian ajaran Islam secara keseluruhan
yang bersifat utuh dan menyeluruh (holistik). Misalnya saja, karena Islam itu
agama akidah dan agama akhlak di samping agama syariah (muamalah), maka ekonomi
Islam tidak boleh terlepas apalagi dilepaskan dari ikatannya dengan sistem
akidah dan sistem akhlaq (etika) di samping hukum. Itulah sebabnya seperti akan
dibahas pada waktunya nanti, mengapa ekonomi Islam tetap dibangun di atas
asas-asas akidah (al-asas al-`aqa’idiyyah) dan asas-asas etika-moral (al-asas
akhlaqiyyah) yang lainnya.
3.
Ekonomi berdimensi akidah atau keakidahan (iqtishadun
`aqdiyyun), mengingat ekonomi Islam itu pada dasarnya terbit atau lahir
(sebagai ekspresi) dari akidah Islamiah (al-`aqidah sl-Islamiyyah) yang di
dalamnya akan dimintakan pertanggung-jawaban terhadap akidah yang diyakininya.
Atas dasar ini maka seorang Muslim (menjadi) terikat dengan sebagian
kewajibannya semisal zakat, sedekah dan lain-lain walaupun dia sendiri harus
kehilangan sebagian kepentingan dunianya karena lebih cenderung untuk
mendapatkan pahala dari Allah s.w.t. di hari kiamat kelak.
4.
Berkarakter
ta`abbudi (thabi`un ta`abbudiyun). Mengingat ekonomi Islam itu merupakan tata
aturan yang berdimensikan ketuhanan (nizham rabbani), dan setiap ketaatan
kepada salah satu dari sekian banyak aturan-aturan Nya adalah berarti ketaatan
kepada Allah s.w.t., dan setiap ketaatan kepada Allah itu adalah ibadah. Dengan
demikian maka penerapan aturan-aturan ekonomi Islam (al-iqtishad al-Islami)
adalah juga mengandung nilai-nilai ibadah dalam konteksnya yang sangat luas dan
umum.
5.
Terkait erat dengan akhlak (murtabithun bil-akhlaq),
Islam tidak pernah memprediksi kemungkinan ada pemisahan antara akhlak dan
ekonomi, juga tidak pernah memetakan pembangunan ekonomi dalam lindungan Islam
yang tanpa akhlak. Itulah sebabnya mengapa dalam Islam kita tidak akan pernah
menemukan aktivitas ekonomi seperti perdagangan, perkreditan dan lain-lain yang
semata-mata murni kegiatan ekonomi sebagaimana terdapat di dalam ekonomi non
Islam. Dalam Islam, kegiatan ekonomi sama sekali tidak boleh lepas dari kendali
akhlaq (etika-moral) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam
secara keseluruhan.
6.
Elastis
(al-murunah), dalam pengertian mampu berkembang secara perlahan-lahan atau
evolusi. Kekhususan al-murunah ini didasarkan pada kenyataan bahwa baik
al-Qur’an maupun al-Hadits, yang keduanya dijadikan sebagai sumber asasi
ekonomi, tidak memberikan doktrin ekonomi secara tekstual akan tetapi hanya
memberikan garis-garis besar yang bersifat instruktif guna mengarahkan
perekonomian Islam secara global. Sedangkan implementasinya secara riil di
lapangan diserahkan kepada kesepakatan sosial (masyarakat ekonomi) sepanjang
tidak menyalahi cita-cita syari`at (maqashid as-syari`ah).
7.
Objektif
(al-maudhu`iyyah), dalam pengertian, Islam mengajarkan umatnya supaya berlaku
dan bertindak obyekektif dalam melakukan aktifitas ekonomi. Aktivitas ekonomi
pada hakekatnya adalah merupakan pelaksanaan amanat yang harus dipenuhi oleh
setiap pelaku ekonomi tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, warna kulit, etnik,
agama/kepercayaan dan lain-lain. Bahkan terhadap musuh sekalipun di samping
terhadap kawan dekat. Itulah sebabnya mengapa monopoli misalnya dilarang dalam
Islam. Termasuk ke dalam hal yang dilarang ialah perlakuan dumping dalam
berdagang/berbisnis.
8.
Memiliki
target sasaran/tujuan yang lebih tinggi (al-hadaf as-sami). Berlainan dengan
sistem ekonomi non Islam yang semata-mata hanya untuk mengejar kepuasan materi
(ar-rafahiyah al-maddiyah), ekonomi Islam memiliki sasaran yang lebih jauh
yakni merealisasikan kehidupan kerohanian yang lebih tinggi (berkualitas) dan
pendidikan kejiwaan.
9.
Realistis
(al-waqi`iyyah). Prakiraan (forcasting) ekonomi khususnya prakiraan bisnis
tidak selamanya sesuai antara teori di satu sisi dengan praktek pada sisi yang
lain. Dalam hal-hal tertentu, sangat dimungkinkan terjadi pengecualian atau
bahkan penyimpangan dari hal-hal yang semestinya. Misalnya, dalam keadaan
normal, Islam mengharamkan praktek jual-beli barang-barang yang diharamkan
untuk mengonsumsinya, tetapi dalam keadaan darurat (ada kebutuhan sangat
mendesak) pelarangan itu bisa jadi diturunkan statusnya menjadi boleh atau
sekurang-kurangnya tidak berdosa.
10.
Harta kekayaan itu pada hakekatnya adalah milik Alah
s.w.t. Dalam prinsip ini terkandung maksud bahwa kepemilikan seseorang terhadap
harta kekayaan (al-amwal) tidaklah bersifat mutlak. Itulah sebabnya mengapa
dalam Islam pendayagunaan harta kekayaan itu tetap harus dikelola dan
dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan Sang Maha Pemilik yaitu Allah s.w.t. Atas
dalih apapun, seseorang tidak bolehbertindak sewenag-wenang dalam
mentasarrufkan (membelanjakan) harta kekayaannya, termasuk dengan dalih bahwa
harta kekayaan itu milik pribadinya.
11. Memiliki kecakapan dalam mengelola harta kekayaan (tarsyid
istikhdam al-mal). Para pemilik harta perlu memiliki kecerdasan/kepiawaian
dalam mengelola atau mengatur harta kekayaannya semisal berlaku hemat dalam
berbelanja, tidak menyerahkan harta kepada orang yang belum/tidak mengerti
tentang pendayagunaannya, dan tidak membelanjakan hartanya ke dalam hal-hal
yang diharamkan agama, serta tidak menggunakannya pada hal-hal yang akan merugikan orang lain.
G.
Ruang Lingkup Ekonomi Mikro Islam
Ruang Lingkup Ekonomi Mikro Islam (EMI)
mencakup beberapa aspek ekonomi individu dalam skala mikro, yang antara lain
meliputi:
1. Asumsi
Rasionalitas dalam Ekonomi Islami Produksi islami
2. Teori Konsumsi islami
3. Teori Permintaan islamig
4. Teori Penawaran islami
5. Teori produksi islami
6.
Mekanisme Pasar Islami
7. Efisiensi
Alokasi dan Distribusi Pendapatan
[1]
Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2007, hlm.
4
[2] M.
Nur Rianto dan Euis Amalia, Teori Mikro Ekonomi : suatu perbandingan ekonomi
islam dan ekonomi konvensional, KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, Jakarta, 2010,
hlm. 43
[3]
Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2007, hlm.
34
[4] http://ekonomimikroislam.blogspot.co.id/2013/07/makalah-ekonomi-mikro-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar