Sejarah
ushul fiqh
Ilmu
ushul fiqh tumbuh bersama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan dahulu
dari pada ilmu ushul fiqh. Dengan tumbuh nya ilmu fiqh, tentu ada metode yang
dipakai untuk menggali ilmu tersebut dan
metode itu tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqh.[1]
Walaupun
ushul piqh dibukukan pada abad ke-3 H atau pada masa Imam Syafi’i dianggap
sebagai perintis atau bapak
yurisprudensi dalam islam, itu tidak berarti masa-masa sebelumnya tidak penting
untuk diuraikan.
A. Sejarah ushul
fiqh
1.
Periode Nabi
Pertumbuhan ushul
fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Nabi SAW hingga
pada masa tersusunya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2
H. Pada zaman Nabi SAW, sumber hukum Islam ada 2, yaitu Alqur’an dan sunnah.
Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu wahyu yang menjelaskan kasus
hukum tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka Nabi menetapkan kasus tersebut
melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadis dan sunah. Dalam
menetapkan hukum dari berbagai kasus yang ada di zamanya, ulama ushul fiqh
menyimpulkan ada isyarat bahwa Nabi melakukannya melalui ijtihad. Hasil ijtihad
Nabi ini secara otomatis menjadi sunnah bagi ummat.
Dalam beberapa kasus, Nabi SAW
juga mengaplikasikan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Cara-cara
beliau dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul
fiqh. Oleh sebab itu, para ushuliyyin menyatakan bahwa ushul fiqh itu sendiri
bersamaan hadirnya dengan fiqh, yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin
jelas di zaman para sahabat karena persoalan yang mereka hadapi semakin
berkembang, sedangkan Al-qur’an dan sunnah telah selesai turun seiring dengan
wafatnya Nabi SAW.[2]
2.
Periode Sahabat
Pemikiran ushul piqh beriringan dengan perumusan piqh. Penerapan aspek ushul piqh terhadap masalah yang tidak
ditemukan nash, pada masa sahabat terjadi pertama kali dalam bidang piqh
politik. Masalah yang cukup pelik dihadapi umat islam ketika itu ialah siapa
yang mengganti Nabi Muhammad. Peliknya masalah ini setidak- tidaknya dilatar
belakangi oleh 2 sebab. Pertama, tidak ditemukan pesan atau wasiat dari nabi
tentang suksesi kepemimpinan nya di madinah. Kedua, tidak ditemukannya
ketentuan yang tegas dalam nash, kecuali terdapat isyarat yang samar menyebut kepemimpinan harus dari suku
quraisy. Dalam memecah kerumitan
permasalahan yang hampir menghancurkan umat islam, umar menunjuk Abu Bakar dan
berkat dihadapan umat islam ketika itu.
“Rasulullah
telah meridhai sebagai penggantinya dalam masalah agama. Apakah kita tidak
merestuinya sebagai pengganti Rasulullah dalam masalah keduniaan?”
umar
mengaitkan ucapannya tersebut dengan tindakan nabi yang mengangkat abu bakar
menjadi penggantinya sebagai imam salat ketika nabi dalam keadaan sakit.
Bertoleh dari tindakan nabi tersebut, umar melakukan qias untuk kepemimpinan
kenegaraan . pengkiasaan itu dapat disebut sebagai penerapan aspek ushul piqh.
Selama masa sahabat masih ada pendapat lain yang dikemukakan oleh sahabat mengenai kaus lain yang
berkaitan dengan ushul piqh.
3.
Periode Tabi’in
Periode ini ditandai dengan banyaknya ulama yang tampil sebgai
pemberi fatwa dan meluasnya lapangan istinbat atau perumusan hukum karena
begitu banyaknya peristiwa hukum yang terjadi.
Ulama yang bermuncula tersebut ialah Said Ibn Musayyab dan Ibrahim
Al-nakha’I. mereka member fatwa berdasarkan Alquran, hadis dan fatwa- fatwa
sahabat. Bila tidak terdapat dalam nash, sebagian mereka ada yang menetapkan
hukum dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan ada pula yang menempuh jalur qiyas. Karena perbedaan
meteode inilah dikemudian hari emenimbulkan mazhab piqh.
4.
Periode Tabii Tabi’in
Ulama
yang muncul pada periode ini adalah sebagai berikut :
a.
Abu Hanafiah
Untuk fatwa- fatwa yang masih diperselisihkan, ia memilih yang
dianggapnya paling kuat. Hal ini terlihat dari banyaknya ia menggunakan qiyas
dan istihsan.
b.
Imam Maliki
Imam
maliki menggunakan tradisi yang hidup di
kalangan penduduk madinah. Ia lebih
banyak menggunakan hadis , mugkin karena banyaknya hadis yang ia temukan.
c.
Imam Syafi’i
Diterangkan
oleh Abdul Wahhab Khallaf. Bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-
kaidah ilmu ushul piqh dengan disertai alasan- alasannya ialah Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’I (150 – 204 H). Dalam sebuah kita yang diberi nama ar -
risalah. Kitab tersebut merupakan kitab yang pertama kali sampai kepada kita.
Sehingga beliau dikenal sebagai pencipta ilmu ushul piqh. [3]
B.
Mazhab
1.
Pengertian mazhab
Pengertian
mazhab dalam istilah fiqh dan ilmu fiqh setidaknya meliputi dua hal, yaitu
a.
Jalan pikiran atau metode yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian.
b.
Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang hukum suatu
kejadian.[4]
Menurut sebagian ulama, orang awam yang beramal dengan mazhab
seorang imam mujtahid dalam masalah tertentu. Dituntut untuk secara konsisten
mengikuti terus mazhab imam tersebut dalam masalah- masalah lainnya, sehingga
bentuk pengamalan agama orang awam itu sama dengan imamnya dalam segala urusan
agama.
C.
Perkembangan Ushul Fiqh
Tahap-tahap
perkembangan ushul fiqh sebagaimana dikemukakan Rachmat Syafi’i adalah sebagai
berikut :
1. Tahap Awal(Abad
ke-3 H)
Pada
abad ke-3 H, dibawah pemerintahan abbasyiah,wilayah islam semakin meluas
kebagian Timur. Khalifah-khalifah Abbasyah yang brkuasa dalam abad ini adalah
Al-Ma’mun (w. 218 H). Pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah
dikalangan Islam, yang dimulai sejak masa pemerintahan khalifah Ar-Rasyid.
Kebangkitan pemikiran pada masa ini ditandai dengan timbulnya semangat
penerjemahan dikalangan ilmuan muslim. Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan
dalam bahasa Arab, kemudian diberikan penjelasan (syarah). Di samping itu,
ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang dan semakin meluas objek pembahasannya.
Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada ilmuan keislaman yang berkembang sesudah
Abbasyiah, kecuali yang telah dirintis atau diletakkan dasar-dasarnya pada
zaman dinasti Abbasyia ini.
Salah
satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan islam ketika itu
adalah berkembangnya bidang fiqh, yang pada gilirannya mendorong untuk
disusunnya metode berfikir fiqh yang disebut ushul fiqh. Sepertitelah
dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun secara utuh dan
terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah, karangan Asy-Syafi’i.
Perlu
diketahui bahwa pada umunya kitab-kitab ushul fiqh yang ada pada abad3 hijriyah
ini tidakmencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup
segala aspeknya, kecuali Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah
mencakup permasalahan-permasalahan Ushuliyah yang menjadi pusat
perhatian para fuqaha padazaman itu.
Pada
abad ini pula laahir ulama-ulama besar yang meletakkan dasar berdirinya
mazhab-mazhab fiqh. Para pengikut mereka semakin menunjukkan perbedaan dalam
mengungkapkan pemikiran ushul fiqh dari para imamnya . Asy Syafi’i, misalnya,
tidakmenerima cara penggunaan istishan yang masyhur dikalangan
Hanafiyah. Sebaliknya, Hanfiyah tidak menggunakan cara-cara pengambilan hukum
berdasarkan hadis-hadis yang dipegang oleh Asy-Syafi’i. Sementara itu, kaum Ahl
Al-hadis pada umumnya dan kaum zhariyah pengikut Daud Azh-Zhairi
pada khususnya, tidak menyetujuimetode dari kedua golongan terakhir mempunyai
metode tersendiri dalam qiyas dan fa’wil.[5]
2. Tahap
Perkembangan (Abad ke-4 H)
Abad ke-4 H
merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasyiah dalam bidang politik. Pada
abad ini, dinasti Abbasyiah terpecah-pecah menjadi Daulah-daulah kecil
yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian, kelemahan
bidang politik ini tidak memengaruhi
perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu.
Bahkan
ada yang mengatakan bahwa perkembangan ilmu keislaman pada abadke 4 hijriyah
jauh lebih maju dibandingkan dengan masa sebelumnya. Hal ini disebabkan
masing-masing penguasa daulah-daulah kecil itu berusaha memajukan negrinya
dengan memperbanyak kaum intelektualnya. Juga disebabkan terjadinya
desentralisasi ekonomi yang mebawa daulah-daulah kecil itu semakin makmur dan
menopang ilmu pengetahuan di negerinya.
Pemikiran
liberal islam berdasarkan ijtihad muthlak berhenti pada abad ini. Akibatnya,
aliran aliran fiqh yang ada semakin mantap eksistensinya, apalagi disertai
dengan panatisme dari golongan penganutnya.
Usaha-usaha
yang dilakukan para ulama adalah :
1)
Memperjelas illat hukum, yang di istimbadkan oleh para imam mereka
yang kemudian disebut sebagai ulama takhrij.
2)
Mentarjihkan pendapat-pendapatyang berbeda dalam mazhab baik dari
segi riwayat atau dirayah.
3)
Setiap golongan mendukung mazhabnya sendiri dan mentarjihkannya
dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusun kitab alkhilaf, yang
didalmnya diungkapkan masalah-masalah yang diperselisihkan , dan mentarjihkan pendapat
atau pendirian mazhab yang dianutnya.[6]
Tanda-tanda
perkembangan ilmu ushul fiqh dalam abad ke 4 H ini, yaitu munculnya kitab-kitab
ushul fiqh yang merupakan hasil karya dari para ulama fiqh. Kitab-kitab yang
paling terkenal diantaranya ialah :
1)
Kitab Ushul al-kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadillah Ibnu
Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi (w.340 H).
2)
Kitab Al-Fushul fi Al-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar
Ar-Razi yang juga dikenal dengan Al-Jashshash (305-370 H).
3)
Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din
Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Berdasarkan
uranian diatas, ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai ciri khas
perkembangan ilmu ushul fiqh pada abad ke 4 H, yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas masalah ushulfiqh
secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa yang
sebelumnya. Kalupun ada yang membhas kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata
untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
Dalam
abad ke 4 H ini pula mulai tampak adanya
pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut
ilmu mantiq dalam ilmu ushul fiqh. Hal ini terlihat dalam masalah mencari makna
dan pengertian sesuatu, yang dalam ilmu ushul fiqh, al-hudud merupakan suatu
hal yang tidak pernah dijumpai dalam perkembangan (kitab-kitab) sebelumnya.
3. Tahap
penyempurnaan (abad ke 5 – 6 H)
Kelemahan
politik di baghdad yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa
arti bagi perkembangan peradaban dunia islam. Peradaban islam tidak lagi
terpusat di baghdad, tetapi juga di kota-kota, seperti kairo, bughara, ghazna,
dan markusy. Hal itu disebabkan adany perhatian besar dari para sultan ,
raja-raj penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembanga ilmu dan
peradaban.
Dalam
sejarah perkembangan ilmuushul fiqh, abad ke 5 dan ke 6 H ini merupakan periode
penulisan kitab ushul fiqh terpesat, yang melahirkan kitab-kitab yang menjadi
kitab standar dalam penkajian ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Kitab-kitab ushulfiqh yang paling
penting, antara lain sebagai berikut:
1)
Kitab Al-Mughni fi Al-Abwab Al-Adl Wa At-Tauhid, ditulis oleh
Al-Qhadi Abd. Al-Jabbar (w. 415 H / 1024 M).
2)
Kitab Al-Mu’amad, fi Al-Ushul Fiqh, ditulis oleh Abu Al-Husain
Al-Bashri (w.436 H / 1044 M) yang juga beraliran mu’tazilah.
3)
Kitab Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqh ditulis Abu Al-Qhadi Abu Muhammad
Ya’ la Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalf Al-Fara (w. 458 H / 1065 M),
yang dianggap sebagai ulama besar madzhab pada abad ke 5 H.
4)
Kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, ditulis oleh Abu Al-ma’ali Abd.
Al-Malik Ibnu Abdillah Ibnu yusuf Al-Juwaini imam Al-Haramain (w. 478 H / 1094
M).
5)
Kitab Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid
Al-Ghazali (w. 616 H/ 1219 M), dan Ash-shaf Abu Yahya.
Pada
abad ke 5 dan ke 6 H tampil fuqahah yang memiliki pemikiran-pemikiran yang
orisinal dan riberal, ditandai dengan timbulnya perbedan pendapat dalam
msalah-masalah tertentu. Dalam abad ini pula terlihat aktifitas ulama
mutakalimin, baik ‘asy’ Ariyah maupun Mu’tazilah yang memberi perhatian
terhadap penulisan ushul fiqh. Disamping itu, kitab-kitab usjul fiqh dalam
periode ini telah terpengaruh oleh corak pemikiran kalamiyah, filsafat, dan
manthiqiyah.[7]
Dari
uraian perkembangan ushul fiqh pada abad pertam hingga abad ke 6 dapat
dismpulakan bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqh merupakan
salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara’ dan menjabarkannya pada
kehidupan sosial yang berubah ubah. Kegiatan tersebut dimulai pada abad ke 3 H.
Ushul fiqh terus berkembang menuju kesempurnaannya hingga puncaknya pada abad
ke 5 dan awal abad ke 6 H. Abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul
fiqh karena banyaknya ulama yang memusatkan perhatiannya pada ilmu tersebut.
Pada abad inilah, muncul kitab-kitab ushul fiqh yang menjadi standar dan
rujukan untuk perkembangan ushul fiqh selanjutnya.
D.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan-penjelsan di atas dapat disimpulkan
1.
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa
sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran
hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran
belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum
terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
- Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
- Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan sosial yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh Karena banyak ulama yang mmusatkan perhatianya pada bidang ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Khatib Suansar.
Ushul Fiqh. Bogor: PT Penerbit IPB Press. 2014.
Ø Syarifuddin
Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: KENCANA. 2008.
Ø Beni Ahmad
Saebani, Januari. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 2008.
Ø Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqih.
Jakarta: AMZAH. 2011.
[1] Suansar Khatib. Ushul fiqh.Bogor:IPB
PRESS. 2014.Jil. ke-1. Hlm.1
[3] Suansar Khatib. Ushul fiqh.Bogor:IPB
PRESS. 2014.Jil. ke-1. Hlm.3-4
[4] Amir Syarifuddin. Ushul fiqh. JAKARTA : KENCANA.2011. Jil. Ke-2. Cet.
Ke-6. Hlm. 448
[5] Abu Zahrah, Ushul
fiqh. Hlm. 32.
[6] Beni Ahmad
Saebani, Januri, Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 123.
[7] Al-Khudari
Beik, Hlm. 38-39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar